Saya ingin mengajak pembaca-pembaca meneliti kandungan di dalam ruangan `Anda Musykil, Dr Masitah Jawab' pada akhbar Harian Metro keluaran 19 Jun 2005. (sila buka halaman 38)
Link Keratan Akhbar. Pada satu tajuk besar dan persoalan `JUAL DIRI KERANA TERDESAK' yang dikemukakan oleh pembaca RAZIN dari kuala Lumpur.
Petikan kemusykilan beliau seperti berikut, " Saya sering membaca kisah wanita (terutama ibu tunggal) yang terpaksa menjual dirti untuk membesarkan anak. Punca pendapatan ini secara terang adalah haram. Persoalannya, adakah kehidupan dan pendidikan anak yang membesar dengan wang begini akan mendapat keberkatan Allah? Adakah anak yang mengetahui pekerjaan ibunya tetapi masih menggunakan wang itu akan turut berdoasa? Dan bagaimana pula hukumnya jika wang itu digunakan untuk membayar zakat fitrah?"
Maka, jawapan dari Ustazah Masitah seperti berikut:
" Hukum di dalam Islam berbeza mengikut keadaan seseorang. Mengikut istilah yang dipakai di sini, iaitu `terpaksa', membayangkan wanita berkenaan terdesak melakukan perbuatan dilarang dan bukan dengan kehendak hatinya."
"Dia terdesak berbuat demikian demi menyelamatkan anak dan memberi makan."
"Perkara dilakukan dalam suasana dharurat terlepas daripada hukuman biasa."
"Dalam keadaan biasa, memang melacur itu haram, tetapi jika terdesak dan dharurat ia dimaafkan'
"Di sini lah timbulnya tanggungjawab masyarakat untuk membantu. Orang terdesak dan dharurat tidak mungkin mampu membayar zakat fitrah, bahkan dia tergolong layak terima fitrah."
" Jika sampai ada lebihan, bererti dia sudah tidak dharurat".
Begitulah jawapan dari Ustazah Masitah. Kesimpulannya, pelacuran adalah halal dalam dharurat. Tidak jauh bezanya hukum dharurat yang dinyatakan oleh Pak Lah bagi mengatasi masalah HIV, maka kondom dan jarum percuma dibekalkan. Begitulah dua pandangan tokoh, seorang pemimpin negara keturunan ulamak dan seorang lagi ustazah.
Pada saya, tiada dharurat dalam pelacuran. Setiap yang melacur tentunya mempunyai tubuh badan yang baik, bertenaga, masih muda, berada dalam masyarakat dan bernegara. Mereka boleh bekerja sebagai pencuci pinggan, membasuh, amah hatta penggilap kasut sekalipun. Paling malas, mereka boleh meminta sedekah. Dan, masyarakat atau kerajaan wajib membantu golongan ini tambahan pula di sebuah negara yang dikatakan negara Islam. Tiada alasan untuk melacur langsung. Jangan gunakan hukum dharurat sewenang-wenangnya bagi menghalalkan cara.
Jawapan Ustazah Masitah amat menyimpang jauh. Pelacur adalah dari golongan mereka yang jahil serta malas berusaha. Jika malas sekalipun, jadilah peminta sedekah walaupun ugama Islam melarang untuk meminta-minta sedekah, tetapi lebih mulia dari pelacur. Apakah maksud terdesak dan dharurat seperti yang dinyatakan oleh Ustazah Masitah itu? Harap majlis fatwa beri hukum atas permasalahan ini.
Syeikh Yusuf al-Qardhawi Jawab Fatwa Songsang Dr. Mashitah Halal dan Haram dalam Islam
oleh Yusuf Qardhawi
1.8 Niat Baik Tidak Dapat Melepaskan yang Haram
ISLAM memberikan penghargaan terhadap setiap hal yang dapat mendorong untuk berbuat baik, tujuan yang mulia dan niat yang bagus, baik dalam perundang-undangannya maupun dalam seluruh pengarahannya. Untuk itulah maka Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya semua amal itu harus disertai dengan niat (ikhlas karena Allah), dan setiap orang dinilai menurut niatnya." (Riwayat Bukhari)
Niat yang baik itu dapat menggunakan seluruh yang mubah dan adat untuk berbakti dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu siapa yang makan dengan niat untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan memperkuat tubuh supaya dapat melaksanakan kewajibannya untuk berkhidmat kepada Allah dan ummatnya, maka makan dan minumnya itu dapat dinilai sebagai amal ibadah dan qurbah.
Begitu juga, barangsiapa yang melepaskan syahwatnya kepada isterinya dengan niat untuk mendapatkan anak, atau karena menjaga diri dan keluarganya dari perbuatan maksiat, maka pelepasan syahwat tersebut dapat dinilai sebagai ibadah yang berhak mendapat pahala. Untuk itu pula, maka Rasulullah s.a.w. pernah menyabdakan:
"Pada kemaluanmu itu ada sadaqah. Para sahabat kemudian bertanya: Apakah kalau kita melepaskan syahwat juga mendapatkan pahala? Jawab Nabi: Apakah kalau dia lepaskan pada yang haram, dia juga akan beroleh dosa? Maka begitu jugalah halnya kalau dia lepaskan pada yang halal, dia pun akan beroleh pahala." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan dalam satu riwayat dikatakan:
"Barangsiapa mencari rezeki yang halal dengan niat untuk menjaga diri supaya tidak minta-minta, dan berusaha untuk mencukupi keluarganya, serta supaya dapat ikut berbelas kasih (membantu tetangganya), maka kelak dia akan bertemu Allah (di akhirat) sedang wajahnya bagaikan bulan di malam purnama." (Riwayat Thabarani)
Begitulah, setiap perbuatan mubah yang dikerjakan oleh seorang mu'min, di dalamnya terdapat unsur niat yang dapat mengalihkan perbuatan tersebut kepada ibadah.
Adapun masalah haram tetap dinilai haram, betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana, selama dia itu tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab Islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga.
Syariat Islam tidak membenarkan prinsip apa yang disebut al-ghayah tubarrirul wasilah (untuk mencapai tujuan, cara apapun dibenarkan), atau suatu prinsip yang mengatakan: al-wushulu ilal haq bil khaudhi fil katsiri minal bathil (untuk dapat memperoleh sesuatu yang baik, boleh dilakukan dengan bergelimang dalam kebatilan). Bahkan yang ada adalah sebaliknya, setiap tujuan baik, harus dicapai dengan cara yang baik pula.
Oleh karena itu, barangsiapa mengumpulkan wang yang diperoleh dengan jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram, dengan maksud untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang baik lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya, sehingga dengan demikian dosa haramnya itu dihapus. Haram dalam syariat Islam tidak dapat dipengaruhi oleh tujuan dan niat.
Demikian seperti apa yang diajarkan kepada kita oleh Rasulullah s.a.w., sebagaimana disabdakan:
"Sesungguhnya Allah itu baik, Ia tidak mau menerima kecuali yang baik pula. Allah pun memerintah kepada orang mu'min seperti halnya perintah kepada para Rasul."
Kemudian Rasulullah membacakan ayat:
"Hai para Rasul! Makanlah dari yang baik-baik (halal) dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya aku Maha Mengetahui apa saja yang kamu perbuat." (al-Mu'minun: 51)
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah dari barang-barang baik yang telah Kami berikan kepadamu." (al-Baqarah: 172)
"Kemudian ada seorang laki-laki yang datanq dari tempat yang jauh, rambutnya tidak terurus penuh dengan debu, dia mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: yaa rab, yaa rab (hai Tuhanku, hai Tuhanku), padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan diberi makan dengan barang yang haram pula, maka bagaimana mungkin doanya itu dikabulkan?" (Riwayat Muslim dan Tarmizi)
Dan sabdanya pula:
"Barangsiapa mengumpulkan wang dari jalan yang haram kemudian dia sedekahkan harta itu, samasekali dia tidak akan beroleh pahala, bahkan dosanya akan menimpa dia " (Riwayat Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Dan sabdanya pula:
"Tidak seorang pun yang bekerja untuk mendapatkan kekayaan dengan jalan haram kemudian ia sedekahkan, bahwa sedekahnya itu akan diterima; dan kalau dia infaqkan tidak juga mendapat barakah; dan tidak pula ia tinggalkan di belakang punggungnya (sesudah ia meninggal), melainkan dia itu sebagai perbekalan ke neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapuskan kejahatan dengan kejahatan, tetapi kejahatan dapat dihapus dengan kebaikan. Kejelekan tidaklah dapat menghapuskan kejelekan." (Riwayat Ahmad dan lain-lain)